KONSUMSI

KONSUMSI
Sebagai Tugas Terstruktur Kelompok Dalam Mata Kuliah Ekonomi Islam 1 (Mikro)

Dosen Pengampu :
H. M. Ali Nasrun, S.E, M.Ec.


Disusun Oleh Kelompok 4 :
                                                1. Ade Wahyuni        (B1061151017)
                                                2. Fadia Dini Aulia     (B1061151008)
                                                3. Muyesaroh              (B1061151033)
                                                4. Sarah Putri C.       (B1061151022)
                                                5. Siti Maria Ulfah     (B1061151007)








PRODI EKONOMI ISLAM
FAKULTAS EKONOMI & BISNIS
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2016


KATA PENGANTAR



Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Konsumsi” . Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas dari Dosen Mata Kuliah Ekonomi Islam 1 (Mikro) Bapak H. M. Ali Nasrun SE. M,Ec
Makalah ini ditulis berdasarkan berbagai sumber yang  berkaitan dengan konsumsi terhadap ekonomi mikro islam, serta infomasi dari berbagai media yang berhubungan dengan konsumsi terhadap ekonomi mikro islam.
Tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada pengajar mata kuliah Ekonomi Islam 1 (Mikro) atas bimbingan dan arahan dalam penulisan makalah ini. Dan juga kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah memberikan masukan dan pandangan, sehingga dapat terselesaikannya makalah ini.
Penulis berharap makalah ini dapat menambah wawasan mengenai Konsumsi terhadap Ekonomi Islam 1 (Mikro). Sehingga saat berdiskusi, kita dapat meminimalisir kesalah pahaman yang akan terjadi yang dikarenakan kurangnya pengetahuan yang kita ketahui. Dan penulis berharap bagi pembaca untuk dapat memberikan pandangan dan wawasan agar makalah ini menjadi lebih sempurna.
                                                                                               

                                                                                                Pontianak, 25 September 2016

                                                                             
                                                                                                            Penyusun Makalah



DAFTAR ISI

Kata Pengantar.................................................................................................................. ii
Daftar Isi ......................................................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN............................................................................................... 1
      A.   Latar Belakang ..................................................................................................... 1
      B.  Rumusan Masalah.................................................................................................. 1
      C.  Tujuan Penulisan ................................................................................................... 2
      D.  Manfaat Penulisan................................................................................................. 2

BAB II. PEMBAHASAN................................................................................................ 3
     A.  Konsumsi Dalam Ekonomi Islam.......................................................................... 3
     B.  Prinsip Dasar Konsumsi......................................................................................... 3
     C.  Tujuan Konsumsi................................................................................................... 6
    D.   Kaidah Dalam Konsumsi....................................................................................... 6
    E.    Konsep Maslahah Dalam Perilaku Konsumsi........................................................ 9
    F. Perbedaan Perilaku Konsumen Muslim dengan Konvensional........................... 12
   G   Hikmah Dan Manfaat Dari Pembelajaran Konsumsi........................................... 12

BAB III PENUTUP........................................................................................................ 13
   A.  Kesimpulan.......................................................................................................... 13
   B.  Saran.................................................................................................................... 13

DAFTAR ISI................................................................................................................... iv



 BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Konsumsi adalah kegiatan ekonomi yamg penting, bahkan terkadang dianggap paling penting. Dalam mata rantai kegiatan ekonomi, yaitu produksi-konsumsi-distribusi, sering kali muncul pertanyaan manakah yang paling penting dan paling dahulu diantara mereka. Jawaban atas pertanyaan ini jelas tidak mudah, sebab memang ketiganya merupakan mata rantai yang terkait satu dengan lainnya. Kegiatan produksi ada karena ada yang mengkonsumsi, kegiatan konsumsi ada karena ada yang memproduksi, dan kegiatan disribusi muncul karena ada gapatau jarak antara konsumsi dan produksi.
Dalam ekonomi konvesional perilaku konsumsi dituntun oleh dua nilai dasar, yaitu rasionalisme dan utilitarianisme. Kedua nilai dasar ini kemudian membentuk suatu perilaku konsumsi yang hedonistic materialistik serta boros (wastefful). Karena rasionalisme ekonomi konvensional adalah self-inters perilaku konsumsinya juga cenderung individualistik sehingga seringkali mengabaikan keseimbangan dan keharmonisan social.
Maka penulis akan membahas perilaku konsumsi yang lebih islami , yaitu perilaku konsumsi yang dibimbing oleh nilai-nilai agama Islam.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan konsumsi?
2.      Apa saja prinsip-prinsip dasar dari konsumsi?
3.      Apa tujuan dari konsumsi?
4.      Bagaimana kaidah dalam konsumsi?
5.      Bagaimana konsep maslahah dari konsumsi dalam pandangan Islam?
6.      Bagaimana  perbedaan dari perilaku konsumen muslim dan konsumen konvensional?







C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dibuatnya makalah ini adalah sebagai berikut :
Untuk memberikan suatu wawasan dan pengetahuan mengenai konsumsi dalam ekonomi ekonomi islam mikro, dan agar lebih memahami perkembangan ekonomi di Indonesia secara luas khusus nya di bidang konsumsi. Selain itu, makalah ini dibuat sebagai bahan penyelesaian tugas makalah mata kuliah softskill mengenai konsumsi dalam ekonomi islam 1 (mikro).

D.    Manfaat penulisan
Manfaat dari penyusunan makalah ini adalah sebgai berikut :
1.      Mahasiswa mengetahui tentang konsumsi dalam ekonomi mikro islam , dan agar lebih memahami perkembangan ekonomi di Indonesia secara luas.
2.      Sebagai acuan bagi seluruh mahasiswa dalam memahami tentang konsumsi dalam ekonomi mikro islam agar lebih mudah dalam proses pembelajaraan.



















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Konsumsi
Dalam mendefinisikan konsumsi terdapat perbedaan di antara para pakar ekonom, namun konsumsi secara umum didefinisikan dengan penggunaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dalam ekonomi islam konsumsi juga memiliki pengertian yang sama, tapi memiliki perbedaan dalam setiap yang melingkupinya. Perbedaan yang mendasar dengan konsumsi ekonomi konvensional adalah tujuan pencapaian dari konsumsi itu sendiri.
Cara pencapaiannya harus memenuhi kaidah pedoman syariah islamiyyah. 
Pelaku konsumsi atau orang yang menggunakan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhannya disebut konsumen. Perilaku konsumen adalah kecenderungan konsumen dalam melakukan konsumsi, untuk memaksimalkan kepuasannya. Dengan kata lain, perilaku konsumen adalah tingkah laku dari konsumen, dimana mereka dapat mengilustrasikan pencarian untuk membeli, menggunakan, mengevaluasi dan memperbaiki suatu produk dan jasa mereka.  Perilaku konsumen (consumer behavior) mempelajari bagaimana manusia memilih di antara berbagai pilihan yang dihadapinya dengan memanfaatkan sumberdaya (resources) yang dimilikinya. 

B.     Prinsip Dasar Konsumsi
Menurut islam, anugerah Allah itu milik semua manusia. Suasana yang menyebabkan sebagian di antara anugerah-anugerah itu berada di tangan orang-orang tertentu. Hal ini tidak berarti bahwa mereka dapat memanfaatkan anugerah itu untuknya, sedangkan orang lain tidak memiliki bagiannya. Anugerah yang diberikan Allah kepada umat manusia masih berhak dimiliki walaupun mereka tidak memperolehnya. Dalam Al-Quran, Allah SWT mengetuk dan membatalkan argumen yang dikemukakan oleh orang kaya yang kikir karena ketidaksediaan memberikan bagian atau miliknya.
Allah SWT berfirman dalam Q.S. Yasin (36) : 47
Dan apabila dikatakan kepada mereka, infakkanlah sebagian rezeki yang diberikan Allah kepadamu, orang-orang kafir ini berkata kepada orang-orang yang beriman, Apakah pantas kami memberi makan kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki Dia akan memberinya makan? Kamu benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”

Konsumsi yang berlebihan merupakan ciri khas masyarakat yang tidak mengenal Tuhan, yang dalam islam disebut dengan istilah israf (pemborosan) atau tabzir (menghabur-hamburkan harta tanpa guna). Tabzir berarti mempergunakan harta dengan cara yang salah, yaitu menuju tujuan-tujuan yang terlarang, seperti penyuapan, hal-hal yang melanggar hukum, atau dengan cara yang tanpa aturan. Kecenderungan konsumen dalam menentukan pilihan konsumsi menyangkut pengalaman masa lalu, budaya, selera, dan nilai-nilai yang dianut, seperti agama dan adat istiadat. Perilaku konsumen dapat dilihat dari dua pendekatan, yaitu pendekatan marginal utility dan pendekatan indifference curve.
Pendekatan marginal utility adalah kepuasan (utility/utilitas) konsumen yang dapat diukur dengan satuan lain. Adapun pendekatan indifference curve (kurva indeferensi) adalah kepuasan konsumen bisa lebih rendah atau lebih tinggi tanpa mempertimbangkan lebih tinggi atau rendahnya.
Menurut Abdul Mannan, dalam melakukan konsumsi terdapat lima prinsip dasar, yaitu: 
1.      Prinsip Keadilan
Prinsip ini mengandung arti ganda mengenai mencari rizki yang halal dan tidak dilarang hukum. Artinya, sesuatu yang dikonsumsi itu didapatkan secara halal dan tidak bertentangan dengan hukum. Berkonsumsi tidak boleh menimbulkan kedzaliman, berada dalam koridor aturan atau hukum agama, serta menjunjung tinggi kepantasan atau kebaikan. Islam memiliki berbagai ketentuan tentang benda ekonomi yang boleh dikonsumsi dan yang tidak boleh dikonsumsi. “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi” (Qs al-Baqarah,2 : 169). Keadilan yang dimaksud adalah mengkonsumsi sesuatu yang halal (tidak haram) dan baik (tidak membahayakan tubuh). Kelonggaran diberikan bagi orang yang terpaksa, dan bagi orang yang suatu ketika tidak mempunyai makanan untuk dimakan.  Ia boleh memakan makanan yang terlarang itu sekedar yang dianggap perlu untuk kebutuhannya ketika itu saja.
2.      Prinsip Kebersihan
Bersih dalam arti sempit adalah bebas dari kotoran atau penyakit yang dapat merusak fisik dan mental manusia, misalnya: makanan harus baik dan cocok untuk dimakan, tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera. Sementara dalam arti luas adalah bebas dari segala sesuatu yang diberkahi Allah. Tentu saja benda yang dikonsumsi memiliki manfaat bukan kemubaziran atau bahkan merusak. “Makanan diberkahi jika kita mencuci tangan sebelum dan setelah memakannya” (HR Tarmidzi).  Prinsip kebersihan ini bermakna makanan yang dimakan harus baik, tidak kotor dan menjijikkan sehingga merusak selera.  Nabi juga mengajarkan agar tidak meniup makanan: ”Bila salah seorang dari kalian minum, janganlah meniup ke dalam gelas” (HR Bukhari).
3.      Prinsip Kesederhanaan
Sikap berlebih-lebihan (israf) sangat dibenci oleh Allah dan merupakan pangkal dari berbagai kerusakan di muka bumi. Sikap berlebih-lebihan ini mengandung makna melebihi dari kebutuhan yang wajar dan cenderung memperturutkan hawa nafsu atau sebaliknya terlampau kikir sehingga justru menyiksa diri sendiri. Islam menghendaki suatu kuantitas dan kualitas konsumsi yang wajar bagi kebutuhan manusia sehingga tercipta pola konsumsi yang efesien dan efektif secara individual maupun sosial. “Makan dan minumlah, tapi jangan berlebihan; Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (Qs al-A’raf, 7: 31). Arti penting ayat-ayat ini adalah bahwa kurang makan dapat mempengaruhi jiwa dan tubuh, demikian pula bila perut diisi dengan berlebih-lebihan tentu akan berpengaruh pada perut.
4.      Prinsip Kemurahan Hati
Allah dengan kemurahan hati-Nya menyediakan makanan dan minuman untuk manusia (Qs al-Maidah, 5: 96).  Maka sifat konsumsi manusia juga harus dilandasi dengan kemurahan hati.  Maksudnya, jika memang masih banyak orang yang kekurangan makanan dan minuman maka hendaklah kita sisihkan makanan yang ada pada kita, kemudian kita berikan kepada mereka yang sangat membutuhkannya. Dengan mentaati ajaran Islam maka tidak ada bahaya atau dosa ketika mengkonsumsi benda-benda ekonomi yang halal yang disediakan Allah karena kemurahan-Nya. Selama konsumsi ini merupakan upaya pemenuhan kebutuhan yang membawa kemanfaatan bagi kehidupan dan peran manusia untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah maka Allah elah memberikan anugrah-Nya bagi manusia. 
5.      Prinsip Moralitas.
Pada akhirnya konsumsi seorang muslim secara keseluruhan harus dibingkai oleh moralitas yang dikandung dalam Islam sehingga tidak semata – mata memenuhi segala kebutuhan. Allah memberikan makanan dan minuman untuk keberlangsungan hidup umat manusia agar dapat meningkatkan nilai-nilai moral dan spiritual.  Seorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum makan dan menyatakan terimakasih setelah makan. 



C.    Tujuan Konsumsi
Tujuan utama konsumsi seorang muslim adalah sebagai sarana penolong untuk beribadah kepada Allah. Sesungguhnya mengkonsumsi sesuatu dengan niat untuk meningkatkan stamina dalam ketaatan pengamdian kepada Allah akan menjadikan konsumsi itu bernilai ibadah yang dengannya manusia mendapatkan pahala. Sebab hal-hal yang mubah bisa menjadi ibadah jika disertai niat pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah, seperti: makan, tidur dan bekerja, jika dimaksudkan untuk menambah potensi dalam mengabdi kepada Ilahi.  Dalam ekonomi islam, konsumsi dinilai sebagai sarana wajib yang seorang muslim tidak bisa mengabaikannya dalam merealisasikan tujuan yang dikehendaki Allah dalam penciptaan manusia, yaitu merealisasikan pengabdian sepenuhnya hanya kepada-Nya, sesuai firman-Nya:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menghamba kepada-Ku.” (Q.S. Adz-Dzariyat: 56
 Karena itu tidak aneh, bila islam mewajibkan manusia mengkonsumsi apa yang dapat menghindarkan dari kerusakan dirinya, dan mampu melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan Allah kepadanya.  Sedangkan, konsumsi dalam perspektif ekonomi konvensional dinilai sebagai tujuan terbesar dalam kehidupan dan segala bentuk kegiatan manusia di dalamnya, baik kegiatan ekonomi maupun bukan. Berdasarkan konsep inilah, maka beredar dalam ekonomi apa yang disebut dengan teori: Konsumen adalah raja”. Di mana teori ini mengatakan bahwa segala keinginan konsumen adalah yang menjadi arah segala aktifitas perekonomian untuk memenuhi kebutuhan mereka sesuai kadar relatifitas keinginan tersebut.

D.    Kaidah Dalam Konsumsi
Konsumen non muslim tidak mengenal istilah halal atau haram dalam masalah konsumsi. Karena itu dia akan mengkonsumsi apa saja, kecuali jika dia tidak bisa memperolehnya, atau tidak memiliki keinginan untuk mengkonsumsinya.
Adapun konsumen muslim, maka dia komitmen dengan kaidah-kaidah dan hukum-hukum yang disampaikan dalam syariat untuk mengatur konsumsi agar mencapai kemanfaatan konsumsi seoptimal mungkin, dan mencegah penyelewengan dari jalan kebenaran dan dampak madharatnya, baik bagi konsumen sendiri maupun yang selainnya.
Berikut ini merupakan kaidah-kaidah terpenting dalam konsumsi: 

1)      Kaidah Syariah
Yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi dalam melakukan konsumsi di mana terdiri dari:
a.       Kaidah akidah, yaitu mengetahui hakikat konsumsi adalah sebagai sarana untuk ketaatan/ beribadah sebagai perwujudan keyakinan manusia sebagai makhluk yang mendapatkan beban khalifah dan amanah di bumi yang nantinya diminta pertanggungjawaban oleh penciptanya. Jika seorang muslim menikmati rizki yang dikaruniakan Allah kepadanya, maka demikian itu bertitik tolak dari akidahnya bahwa ketika Allah memberikan nikmat kepada hamba-hamba-Nya, maka Dia senang bila tanda nikmat-Nya terlihat pada hamba-hamba-Nya.
b.      Kaidah ilmiah, yaitu seorang ketika akan mengkonsumsi harus tahu ilmu tentang barang yang akan dikonsumsi dan hukam-hukum yang berkaitan dengannya, apakah merupakan sesuatu yang halal atau haram baik ditinjau dari zat, proses, maupun tujuannya sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
c.       Kaidah amaliah, yaitu merupakan aplikasi dari kedua kaidah yang sebelumnya, maksudnya memperhatikan bentuk barang konsumsi. Sebagai konsekuensi akidah dan ilmu yang telah diketahui tentang konsumsi islami tersebut, seseorang ketika sudah berakidah yang lurus dan berilmu, maka dia akan mengkonsumsi hanya yang halal serta menjauhi yang halal atau syubhat.   
2)      Kaidah Kuantitas
Yaitu tidak cukup bila barang yang dikonsumsi halal, tapi dalam sisi kuantitas (jumlah) nya harus juga dalam batas-batas syariah, yang dalam penentuan kuantitas ini memperhatikan beberapa faktor ekonomis, sebagai berikut:
a.       Sederhana, yaitu mengkonsumsi yang sifatnya tengah-tengah antara menghamburkan harta (boros) dengan pelit, tidak bermewah-mewah, tidak mubadzir, hemat. Boros dan pelit adalah dua sifat tercela, dimana masing-masing memiliki bahaya dalam ekonomi dan sosial. Karena itu terdapat banyak Nash Al-Qur’an dan As-Sunnah yang mengecam kedua hal tersebut, dan karena masing-masing keluar dari garis kebenaran ekonomi yang memiliki dampak-dampak yang buruk.
b.      Kesesuaian antara konsumsi dan pemasukan, artinya dalam mengkonsumsi harus disesuaikan dengan kemampuan yang dimilikinya, bukan besar pasak daripada tiang. 
c.       Penyimpanan (menabung) dan pengembangan (investasi), artinya tidak semua kekayaan digunakan untuk konsumsi tapi juga disimpan untuk kepentingan pengembangan kekayaan itu sendiri. 
3)      Kaidah Memperhatikan Prioritas Konsumsi
Yaitu, di mana konsumen harus memperhatikan urutan kepentingan yang harus diprioritaskan agar tidak terjadi kemudharatan, yaitu:
a.    Primer, yaitu konsumsi dasar yang harus terpenuhi agar manusia dapat hidup dan menegakkan kemaslahatan dirinya, dunia dan agamanya serta orang terdekatnya, yakni nafkah-nafkah pokok bagi manusia yang dapat mewujudkan lima tujuan syariat (yakni memelihara jiwa, akal, agama, keturunan dan kehormatan). Tanpa kebutuhan primer kehidupan manusia tidak akan berlangsung. Kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan makan, minum, tempat tinggal, kesehatan, rasa aman, pengetahuan dan pernikahan.
b.    Sekunder, yaitu konsumsi untuk menambah/meningkatkan tingkat kualitas hidup yang lebih baik, yakni kebutuhan manusia untuk memudahkan kehidupan, agar terhindar dari kesulitan. Kebutuhan ini tidak perlu dipenuhi sebelum kebutuhan primer terpenuhi.
c.    Tersier, yaitu kebutuhan yang dapat menciptakan kebaikan dan kesejahteraan dalam kehidupan manusia. Pemenuhan kebutuhan ini tergantung pada bagaimana pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder. 
4)      Kaidah Sosial
Yaitu mengetahui faktor-faktor sosial yang berpengaruh dalam kuntitas dan kualitas konsumsi, yakni memperhatikan lingkungan sosial di sekitarnya sehingga tercipta keharmonisan hidup dalam masyarakat, di antaranya:
a.    Kepentingan umat, yaitu saling menanggung dan menolong sebagaimana bersatunya suatu badan yang apabila sakit pada salah satu anggotanya, maka anggota badan yang lain juga akan merasakan sakitnya.
b.    Keteladanan, yaitu memberikan contoh yang baik dalam berkonsumsi apalagi jika dia adalah seorang tokoh atau pejabat yang banyak mendapat sorotan di masyarakatnya.
c.    Tidak membahayakan orang lain yaitu dalam mengkonsumsi justru tidak merugikan dan memberikan madharat ke orang lain.  


5)      Kaidah Lingkungan
Yaitu dalam mengkonsumsi harus sesuai dengan kondisi potensi daya dukung sumber daya alam yang ada di bumi dan keberlanjutannya (hasil olahan dari sumber daya alam), serta tidak merusak lingkungan, baik bersifat materi maupun non materi.
6)      Kaidah Larangan mengikuti dan Meniru
Yaitu tidak meniru atau mengikuti perbuatan konsumsi yang tidak mencerminkan etika konsumsi islami, seperti mengikuti dan meniru pola konsumsi masyarakat kafir dan larangan bersenang-senang (hedonis), misalnya: suka menjamu dengan tujuan bersenang-senang atau memamerkan kemewahan dan menghambur-hamburkan harta.

E.     Konsep Maslahah Dalam Perilaku Konsumsi
Dalam pandangan Islam kepuasan didasarkan pada suatu konsep yang disebut dengan maslahah. Imam Shatibi menggunakan istilah 'maslahah', yang maknanya lebih luas dari sekadar utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. Menurut Imam Shatibi, maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini. Ada lima elemen dasar menurut beliau, yakni: kehidupan atau jiwa (al-nafs), properti atau harta benda (al mal), keyakinan (al-din), intelektual (al-aql), dan keluarga atau keturunan (al-nasl).  Semua barang dan jasa yang mendukung tercapainya dan terpeliharanya kelima elemen tersebut di atas pada setiap individu, itulah yang disebut maslahah.
Kegiatan-kegiatan ekonomi meliputi produksi, konsumsi dan pertukaran yang menyangkut maslahah tersebut harus dikerjakan sebagai suatu ‘religious duty‘ atau ibadah. Tujuannya bukan hanya kepuasan di dunia tapi juga kesejahteraan di akhirat. Semua aktivitas tersebut, yang memiliki maslahah bagi umat manusia, disebut ‘needs’ atau kebutuhan. Dan semua kebutuhan ini harus dipenuhi. Mencukupi kebutuhan – dan bukan memenuhi kepuasan/keinginan – adalah tujuan dari aktivitas ekonomi Islami, dan usaha pencapaian tujuan itu adalah salah satu kewajiban dalam beragama.  
Adapun sifat-sifat maslahah sebagai berikut:
1.    Maslahah bersifat subyektif dalam arti bahwa setiap individu menjadi hakim bagi masing-masing dalam menentukan apakah suatu perbuatan merupakan suatu maslahah atau bukan bagi dirinya. Namun, berbeda dengan konsep utility, kriteria maslahah telah ditetapkan oleh syariah dan sifatnya mengikat bagi semua individu.

2.    Maslahah orang per seorang akan konsisten dengan maslahah orang banyak. Konsep ini sangat berbeda dengan konsep Pareto Optimum, yaitu keadaan optimal di mana seseorang tidak dapat meningkatkan tingkat kepuasan atau kesejahteraannya tanpa menyebabkan penurunan kepuasan atau kesejahteraan orang lain. 
3.    Konsep maslahah mendasari semua aktivitas ekonomi dalam masyarakat, baik itu produksi, konsumsi, maupun dalam pertukaran dan distribusi. Berdasarkan ketiga elemen di atas, maslahah dapat dibagi dua jenis: pertama, maslahah terhadap elemen-elemen yang menyangkut kehidupan dunia dan akhirat, dan kedua: maslahah terhadap elemen-elemen yang menyangkut hanya kehidupan akhirat. Dengan demikian seorang individu Islam akan memiliki dua jenis pilihan:
§  Berapa bagian pendapatannya yang akan dialokasikan untuk maslahah jenis pertama dan berapa untuk maslahah jenis kedua.
§  Bagaimana memilih di dalam maslahah jenis pertama: berapa bagian pendapatannya yang akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan dunia (dalam rangka mencapai ‘kepuasan’ di akhirat) dan berapa bagian untuk kebutuhan akhirat. 
Pada tingkat pendapatan tertentu, konsumen Islam, karena memiliki alokasi untuk hal-hal yang menyangkut akhirat, akan mengkonsumsi barang lebih sedikit daripada non-muslim. Hal yang membatasinya adalah konsep maslahah tersebut di atas. Tidak semua barang/jasa yang memberikan kepuasan/utility mengandung maslahah di dalamnya, sehingga tidak semua barang/jasa dapat dan layak dikonsumsi oleh umat Islam. Dalam membandingkan konsep ‘kepuasan’ dengan ‘pemenuhan kebutuhan’ (yang  terkandung di dalamnya maslahah), kita perlu membandingkan tingkatan-tingkatan tujuan hukum syara’ yakni antara daruriyyah, tahsiniyyah dan hajiyyah.
Penjelasan dari masing-masing tingkatan itu sebagai berikut:
a)      Daruriyyah: Tujuan daruriyyah merupakan tujuan yang harus ada dan mendasar bagi penciptaan kesejahteraan di dunia dan akhirat, yaitu mencakup terpeliharanya lima elemen dasar kehidupan yakni jiwa, keyakinan atau agama, akal/intelektual,  keturunan dan keluarga serta harta benda. Jika tujuan daruriyyah diabaikan, maka tidak akan ada kedamaian, yang timbul adalah kerusakan (fasad) di dunia dan kerugian yang nyata di akhirat.
b)      Hajiyyah: Syari’ah bertujuan memudahkan kehidupan dan menghilangkan kesempitan. Hukum syara’ dalam kategori ini tidak dimaksudkan untuk memelihara lima hal pokok tadi melainkan menghilangkan kesempitan dan berhati-hati terhadap lima hal pokok tersebut.

c)      Tahsiniyyah: syariah menghendaki kehidupan yang indah dan nyaman di dalamnya. Terdapat beberapa provisi dalam syariah yang dimaksudkan untuk mencapai pemanfaatan yang lebih baik, keindahan dan simplifikasi dari daruriyyah dan hajiyyah. Misalnya dibolehkannya memakai baju yang nyaman dan indah. 
§  Kerangka secara garis besar mengenai kapan akan mendapatkan maslahah dan berkah
Kebutuhan Intelektual
 
Kehalalan Produk
 
Kebutuhan Sosial
 
Kebutuhan Generasi Yang Akan Datang
 
Niat Ibadah/Kebaikan
 
Pemenuhan Kebutuhan
 
Manfaat (Duniawi)
 
Berkah
 
Maslahah
 
Madharat
 
Pemenuhan Keinginan
 
Hal Yang sia-sia dan Merugikan
 


























Keberadaan Maslahah dalam Konsumsi
F.     Perbedaan Perilaku Konsumen Muslim dengan Perilaku Konsumen Konvensional
Konsumen Muslim memiliki keunggulan bahwa mereka dalam memenuhi kebutuhannya tidak sekadar memenuhi kebutuhan individual (materi), tetapi juga memenuhi kebutuhan sosial (spiritual). Konsumen Muslim ketika mendapatkan penghasilan rutinnya, baik mingguan, bulanan, atau tahunan, ia tidak berpikir pendapatan yang sudah diraihnya itu harus dihabiskan untuk dirinya sendiri, tetapi karena kesadarannya bahwa ia hidup untuk mencari ridha Allah, sebagian pendapatannya dibelanjakan di jalan Allah (fi sabilillah). Dalam Islam, perilaku seorang konsumen Muslim harus mencerminkan hubungan dirinya dengan Allah (hablu mina Allah) dan manusia (hablu mina an-nas). 
Konsep inilah yang tidak kita dapati dalam ilmu perilaku konsumen konvensional. Selain itu, yang tidak kita dapati pada kajian perilaku konsumsi dalam perspektif ilmu ekonomi konvensional adalah adanya saluran penyeimbang dari saluran kebutuhan individual yang disebut dengan saluran konsumsi sosial. Alquran mengajarkan umat Islam agar menyalurkan sebagian hartanya dalam bentuk zakat, sedekah, dan infaq. Hal ini menegaskan bahwa umat Islam merupakan mata rantai yang kokoh yang saling menguatkan bagi umat Islam lainnya .

G.    Hikmah Dan Manfaat Dari Pembelajaran Konsumsi
Konsumsi bukan berarti berfoya-foya dan menghabiskan dana semata, namun memiliki hikmah dan manfaat tersendiri, antara lain sebagai berikut :
1.      Mempertahankan Hidup
Manfaat utama dari konsumsi yang dilakukan oleh manusia adalah untuk mempertahankan hidupnya.
2.      Memenuhi Kebutuhan Primer, Sekunder dan Tersier
Dalam kehidupan sehari-hari kita sangat memerlukan kebutuhan seperti pangan dan sandang. Terlebih lagi dengan timbulnya keinginan untuk memuaskan diri dengan menambah kebutuhan tersier. Oleh karena itu, adanya konsumsi sangat lah penting dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari bagi para konsumen.
3.      Mengetahui Harga Barang di Pasar
Dengan adanya konsumsi kita dapat mengetahui harga barang di pasar sehingga dapat mengatur keuangan untuk memenuhi kebutuhan.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa agama islam merupakan agama yang komerhensif tidak hanya mengatur urusan akidah saja namun juga dibidang syari’ah. Begitu pula masalah konsumsi yang dilakukan dalam kegiatan sehari-hari. Konsumsi ekonomi konvensional berbeda sekali dengan konsumsi islami. Konsumsi islami tidak hanya mengedepankan aspek kepuasan dunia saja namun sebaliknya. Dalam konsumsi islami ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan yaitu prinsip keadilan, kebersihan, kesederhanaan, kemurahan hati serta moralitas.
Manusia sebagai mahluk sosial dituntut untuk mampu memperhatikan kebutuhan hidupnya tidak hanya dalam waktu sesaat dan tidak pula untuk dirinya pribadi. Konsumsi manusia terhadap segala sesuatu kebutuhan harus memperhatikan aturan-aturan lingkungan, serta jangka waktu yang panjang. Kepuasan (utility) akan didapat dengan sendirinya jikalau sesuatu yang dikonsumsinya membawa nilai manfaat, maslahah serta barokah.
B.     Saran
Penulis menyampaikan saran bagi para pembaca makalah ini agar mengkonsumsi suatu barang itu hendaklah menggunakan kaidah-kaidah yang telah diatur dan ditetapkan oleh islam agar senantiasa kita sebagai umat muslim dapat merasakan manfaat yang luar biasa dari konsumsi yang kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari kita serta tentunya mendapatkan limpahan rahmat dari Allah swt.


 DAFTAR PUSTAKA

       Aziz, Abdul. EKONOMI ISLAM Analisis Mikro dan Makro, Edisi Pertama, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008.
       Suprayitno, Eko. EKONOMI ISLAM, Edisi Pertama, Yogyakarta : Penerbit Graha Ilmu, 2005.
        Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI). Ekonomi Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2008.
        Wibowo, Sukarno, S.E.,M.M : Supriadi, Dedi,M.Ag. EKONOMI MIKRO ISLAM, Bandung : CV Pustaka Setia, 2013.
        Anto, Hendrie. Pengantar ekonomi Mikro Islam, Yogyakarta:Ekonosia, 2003.
        Karim, Adiwarman. Ekonomi Mikro Islami, Edisi Ketiga, Jakarta: Rajawali Pers, 2007.



















Komentar

  1. Terima kasih artikelnya, bermanfaat

    BalasHapus
  2. Harrah's New Orleans Hotel & Casino - JMH Hub
    Harrah's New Orleans Hotel & Casino 충주 출장마사지 in 정읍 출장마사지 New 강원도 출장안마 Orleans features modern amenities, 수원 출장안마 world-class entertainment, 안성 출장안마 and lively nightlife.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peranan Dan Fungsi Pemerintah Dalam Perekonomian & Ruang Lingkup Intervensi Pemerintah

makalah saham syariah