makalah mudharabah
MUDHARABAH
Sebagai Tugas Terstruktur Kelompok
dalam Mata Kuliah Fiqh Muamalat
Diampu oleh: Dr. Sumar’in,
SEI, MEI.
Program
Studi Ekonomi Islam
Disusun oleh:
Kelompok 12
Nama Kelompok:
1. Riza Anugrah ( B1061151020 )
2. Sarah Putri Cahyani ( B1061151022 )
3. Muyesaro ( B1061151033 )
4. Syf. Mia
Maulidya ( B1061151006 )
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVESITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah
SWT, yang mana pada kesempatan ini masih diberikan-Nya kenikmatan sehat lahir
dan batin sehingga pemakalah dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul
“Mudharabah”.
Sholawat serta salam tetap
tercurahkan kepada manusia pilihan, pembawa risalah islam yaitu Nabi Muhamad
SAW. Beserta para keluarga, sahabat dan kita semua pengikutnya. Pemakalah
sadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan,kekeliruan
ataupun kesalahan. Maka dari itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat
kami harapkan sebagai perbaikan makalah ini dimasa mendatang.
Kami
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, karena keterbatasan
wawasan, serta pengetahuan. Oleh karena itu kritik dan saran dari berbagai
pihak sangat kami harapkan demi kemajuan di masa yang akan datang. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi pemakalah khususnya, dan bagi pembaca
umumnya.
Pontianak, 22 Mei 2016
Kelompok 12
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................... ii
DAFTAR ISI...................................................................................................... iii
BAB I: PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2.Rumusan Masalah ........................................................................................ 1
1.3.Tujuan Masalah ............................................................................................ 2
BAB II: PEMBAHASAN
2.1. Definisi Mudharabah................................................................................... 3
2.2. Landasan Syariah ........................................................................................ 5
2.3. Rukun dan Macam ...................................................................................... 5
2.4. Syarat dan Hukum ...................................................................................... 7
2.5. Batasan Kewenangan .................................................................................. 7
2.6. Hak Mudharib ............................................................................................. 8
2.7. Hal yang membatalkan Akad
Mudharabah ................................................ 10
2.8. Konsep Mudharabah dalam
konteks modern.............................................. 11
BAB III: PENUTUP
3.1. Kesimpulan ................................................................................................. 16
3.2. Saran ........................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTKA .......................................................................................... iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Islam sangat menganjurkan
pemeluknya untuk berusaha, termasuk melakukan kegiatan-kegiatan bisnis.Dalam kegiatan
bisnis, seseorang dapat merencanakan suatu dengan sebaik-baiknya agar dapat
menghasilkan sesuatu yang diharapkan, namun tidak ada seorangpun yang dapat
memastikan hasilnya seratus persen.Suatu usaha, walaupun direncanakan dengan
sebaik-baiknya, namun tetap mempunyai resiko untuk gagal.Faktor ketidakpastian
adalah faktor yang given, sudah menjadi sunnatullah.
Konsep
Bagi hasil, dalam menghadapi ketidakpastian merupakan salah satu prinsip yang
sangat mendasar dari ekonomi Islam, yang dianggap dapat mendukung aspek
keadilan.Keadilan merupakan aspek mendasar dalam perekonomian Islam (Antonio,
2001).Penetapan suatu hasil usaha didepan dalam suatu kegiatan usaha dianggap
sebagai sesuatu hal yang dapat memberatkan salah satu pihak yang berusaha, sehingga
melanggar aspek keadilan.
Bahwa
kegiatan-kegiatan investasi bank Islam oleh para teoritisi Perbanklan Islam
membayangkan mesti di dasarkan pada dua konsep hukum : Mudharabah
dan Musyarakah, atau yang dikenal
dengan istilah Profit and Loss Sharing (PLS).
Apakah konsep teoritisi yang ditawarkan dengan sistem Mudharabah dan Musyarakah
dalam literatur fiqih dapat diaplikasikan secara murni dalam tingkat realitas?.
Makalah ini hendak mencermati bagaimana konsep Mudharabah itu dikembangkan
dalam fiqih dan dapat digunakan dalam Perbankan Islam.
1.2.Rumusan Masalah
a. Apa itu mudharabah?
b. Apa landasan syariah mudharabah?
c. Bagaimana rukun dan macam mudharabah?
d. Bagaimana syarat dan hukum
mudharabah?
e. Bagaimana batasan kewenangannya ?
f. Apa saja hak seorang mudharib ?
g. Apa saja yang dapat membatalkan
akad mudharabah?
h. Bagaimana konsep mudharabah dalam
konteks modern ?
1.3.Tujuan Masalah
a. Dapat mengetahui definisi dari
mudharabah.
b. Dapat memgetahui landasan syariah-nya.
c. Dapat mengetahui rukun-rukun dan
macam-macam-nya.
d. Dapat mengetahui batasan
kewenangan-nya.
e. Dapat mengetahui hak seorang
mudharib.
f. Dapat mengetahui apa saja yang
dapat membatalkan akad mudharabah.
g. Dapat mengetahui konsep-nya dalam
konteks modern.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi Mudharabah
a. Pengertian Mudharabah
Kata
Mudharabah secara etimologi berasal dari kata dharb. Dalam bahasa Arab, kata
ini termasuk diantara kata yang mempunyai banyak arti.Diantaranya memukul,
berdetak, mengalir, berenang, bergabung, menghindar berubah, mencampur,
berjalan, dan lain sebagainya.Perubahan makna tersebut bergantung pada kata
yang mengikutinya dan konteks yang membentuknya.
Menurut
terminologis, mudharabah diungkap secara bermacam-macam oleh para ulama
madzhab. Diantaranya menurut madzhab Hanafi, “suatu perjanjian untuk berkongsi
didalam keuntungan dengan modal dari salah satu pihak dan kerja (usaha) dari
pihak lain.” sedangkan madzhab Maliki menamainya sebagai penyerahan uang dimuka
oleh pemilik modal dalam jumlah uang yang ditentukan kepada seorang yang akan
menjalankan usaha dengan uang itu dengan imbalan sebagian dari keuntungannya.
Ulama
Hijaz menamakan mudharabah, qiradh. Menurut Jumhur, mudharabah adalah bagian
dari musyarakah. Dalam merumuskan pengertian mudharabah, Wahbah Az-Zuhaily
mengemukakan:Pemilik modal menyerahkan hartanya kepada pengusaha untuk
diperdagangkan dengan pembagian keuntungan yang disepakati dengan ketentuan
bahwa kerugian ditanggung oleh pemilik modal, sedangkan pengusaha tidak
dibebani kerugian sedikitpun, kecuali kerugian berupa tenaga dan
kesungguhannya.
Menurut
Latifa M.Algaoud dan Mervyn K.Lewis, mudharabah dapat didefinisikan sebagai
sebuah perjanjian di antara paling sedikit dua pihak, dimana satu pihak,
pemilik modal (shahib al-mal atau rabb al-mal), mempercayakan sejumlah dana
kepada pihak lain, pengusaha (mudharib), untuk menjalankan suatu aktivitas atau
usaha. Menurut Afzalur Rahman sebagaimana dikutip oleh Gemala Dewi dkk.,
syirkah mudharabah atau qiradh, yaitu berupa kemitraan terbatas adalah
perseroan antara tenaga dan harta, seseorang (pihak pertama/supplier/ pemilik
modal/mudharib) memberikan hartanya kepada pihak lain (pihak
kedua/pemakai/pengelola/dharib) yang digunakan untuk bisnis, dengan ketentuan
bahwa keuntungan (laba) yang diperoleh akan dibagi oleh masing-masing pihak
sesuai dengan kesepakatan. Bila terjadi kerugian, maka ketentuannya berdasarkan
syara‟ bahwa kerugian dalam mudharabah dibebankan kepada harta, tidak
dibebankan sedikitpun kepada pengelola, yang bekerja.
Al
Qur’an membolehkan Mudharabah ini dengan mengambil dasar QS. Al Muzammil ayat
20 : “ …..dan orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia
Allah SWT “.Dalam ayat tersebut terdapat kata yadribun yang asal katanya sama
dengan mudharabah, yakni dharaba yang berarti mencari pekerjaan atau
menjalankan usaha.
Secara
umum, mudharabah dibagi menjadi dua yaitu mudharabah mutlaqah (Unrestricted
Investment Account) dan mudharabah muqoyyadhah (Restricted Investment Account).
a. Mudharabah Mutlaqah (bebas)
Mudharabah Mutlaqah atau disebut
dengan (Unrestricted Investment Account) adalah akad kerja antara dua orang
atau lebih, atau antara shahibul maal selaku investor dengan mudharib selaku
pengusaha yang berlaku secara luas. Atau dengan kata lain pengelola (mudharib)
mendapatkan hak keleluasaan (disrectionary right) dalam pengelolaan dana, jenis
usaha, daerah bisnis, waktu usaha, maupun yang lain.
b. Mudharabah Muqoyyadah (terikat)
Disebut juga dengan istilah
(Restricted Investment Account) yaitu kerjasama dua orang atau lebih atau
antara shahibul maal selaku investor dengan pengusaha atau mudharib, investor
memberikan batasan tertentu baik dalam hal jenis usaha yang akan dibiayai,
jenis instrumen, resiko, maupun pembatasan lain yang serupa.
2.2. Landasan Syariah Mudharabah
a. Mudharabah
Secara Umum, landasan dasar
syariah Al-Mudharabah lebih mencerminkan anjuran untuk melaksanakan usaha. Hal
ini tampak dalam ayat-ayat dan hadist berikut ini :
1. Al-Qur’an
“dan dari orang-orang yang
berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT” (QS. Al-Muzzammil: 20),
yang menjadi wajhud-dilalah (وجهالدلاله)
atau argument dari ayat diatas adalah yang berarti melakukan suatu perjalanan
usaha. “apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu dimuka bumi dan
carilah karunia Allah SWT” (QS. Al-Jumu’ah: 10).
2. Al-Hadist
“Dari Shalih bin Suhaib RA bahwa
Rasulullah Bersabda: tiga hal yang didalamnya terdapat kebaikan: jual-beli
secara tangguh, Muqoradhah (Mudaharabah), dan mencampur gandum dengan gandum
untuk keperluan rumah bukan untuk dijual”
3. Ijma’
Imam Zailai[1] telah menyatakan
bahwa para sahabat telah berkonsensus terhadap legitimasi pengolahan harta
yatim secara mudharabah. Kesepakatan para sahabat ini sejalan dengan spirit
hadist yang dikutip Abu Ubaid[2]
2.3. Rukun dan Macam Mudharabah
a. Mudharabah
rukun-rukun mudharabah terdiri dari :
a. pihak yang berakad (subjek perjanjian)
·
pemilik modal – biasanya bank yang akan
bertindak selaku “Shahibul Maal”.
·
pengelola dana – pengusaha yang disebut
sebagai “Mudharib”
b. objek yang diakadkan (objek perjanjian)
·
besarnya modal yang ditanamkan atau
diserahkan oleh bank kepada pegusaha untuk dikembangkan (dikelola).
·
jenis pekerjaan yang akan dilakulakan oleh
pengusaha dengan uang tersebut.
·
besarnya pembagian keuntungan (nisbah) antara
bank dan pengusaha.
c. akad (Shigat)
selanjutnya
dengan demikian Prinsip mudharabah adalah prinsip kerja sama bagi hasil (profit
loss and sharing) yaitu akad/perjanjian kerja sama antara bank syariah sebagai
penyedia dana (shahib al-mal) dan nasabah sebagai pelaku kegiatan/ proyek(mudharib).
Keuntungan usaha dibagi kepada semua pihak sesuai dengan proporsi (Nisbah).
Maka
dengan demikian bisa diartikan, keuntungan usaha yang didapat dari akad
mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak dalam
bentuk nisbah (presentase), jika usaha yang dijalankan mengalami kerugian, maka
kerugian itu ditanggung oleh Shahibul al-Maal sepanjang kerugian itu akibat
kelalaian Shibul Al-Maal, tapi jika kerugian itu diakibatkan kelalaian mudharib
maka mudhariblah yang menanggung atas kerugian tersebut.
Ketentuan mudharabah :
1. modal ditangan pengusaha bersifat amanah,
seperti wakil dalam jual beli.
2. pengusaha berhak atas keuntungan sesuai
kesepakatan.
3. komponen biaya disepakati sejak awal akad.
4. pemilik modal (shahibul al-Maal) berhak
atas keuntungan dan menanggung risiko.
Macam-macam mudharabah ini ada dua jenis
yakni:
a. Mudharabah Mutlaqah (bebas)
Mudharabah
Mutlaqah atau disebut dengan
(Unrestricted Investment Account) adalah akad kerja antara dua orang
atau lebih, atau antara shahibul maal selaku investor dengan mudharib
selaku pengusaha yang berlaku secara luas. Atau dengan kata lain pengelola (mudharib)
mendapatkan hak keleluasaan (disrectionary right) dalam pengelolaan
dana, jenis usaha, daerah bisnis, waktu usaha, maupun yang lain.
b.Mudharabah Muqoyyadah
(terikat)
Disebut juga dengan
istilah (Restricted Investment Account) yaitu kerjasama dua orang atau
lebih atau antara shahibul maal selaku investor dengan pengusaha atau mudharib,
investor memberikan batasan tertentu baik dalam hal jenis usaha yang akan
dibiayai, jenis instrumen, resiko, maupun pembatasan lain yang serupa.
2.4. Syarat dan Hukum Mudharabah
a. Syarat Akad Mudharabah
1.
Pemodal dan Pengelola
pemodal dan pengelola harus mampu melakukan
transaksi dan sah secara hukum keduanya harus mampu bertindak
sebagai kafil dan wakil dari masing-
masing pihak.
2. Akad
akad maksudnya adalah kontrak yang
berlangsung, akad (kontrak) dianggap tidak sah jika salah satu pihak
menolak syarat-syarat yang di ajukan dalam penawaran. atau salah satu
pihak meninggalkan tempat berlangsungnya negoisasi kontrak tersebut
sebelum kesepakatan disempurnakan.
2.5. Batasan Kewenangan Mudharabah
Jika akad mudharabah berupa mudharabah muthlaqah, maka
mudharib memiliki kewenangan penuh untuk menjalankan bisnis apa saja, dimana,
kapan, dan dengan siapa saja. Karena maksud dari mudharabah adalah mendapatkan
keuntungan, dan tidak akan didapatkan tanpa dengan melakukan transaksi bisnis.
Mudharib diperbolehkan menitipkan aset mudharabah kepada pihak lain (bank, misalnya), karena hal ini merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari. Ia juga memiliki hak untuk merekrut karyawan guna menjalankan bisnis, seperti halnya sewa gedung, alat transportasi dan lainnya yang mendukung operasional bisnis untuk mendapatkan keuntungan. Namun demikian, ada beberapa hal yang tidak boleh dilakukan mudharib. Ia tidak boleh melakukan withdraw (berhutang) atas aset mudharabah tanpa izin dari shahibul maal, karena hal itu akan menambah tanggungan shahibul maal. Jika shahibul maal membolehkan, maka penarikan itu menjadi hutang pribadi mudharib yang harus dibayar. Mudharib juga tidak boleh membeli aset dengan cara berhutang, walaupun mendapatkan izin dari shahibul maal. Jika mudharib tetap melakukannya, maka ia harus menanggung beban hutang itu. Namun, jika terdapat keuntungan akan menjadi milik penuh mudharib. Shahibul maal tidak berhak apa-pun, karena ia tidak ikut menanggung risiko. Mudharib tidak diperbolehkan menginvestasikan aset mudharabah kepada orang lain dengan akad mudharabah, melakukan akad syirkah, dicampur dengan harta pribadi atau harta orang lain, kecuali mendapatkan kebebasan penuh dari shahibul maal. Dengan adanya transaksi ini, maka akan terdapat hak orang lain atas aset shahibul maal, sehingga tidak diperbolehkan kecuali mendapatkan kesepakatan dari shahibul maal. (Zuhaili, 1989, IV, hal. 855-858).
Mudharib diperbolehkan menitipkan aset mudharabah kepada pihak lain (bank, misalnya), karena hal ini merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari. Ia juga memiliki hak untuk merekrut karyawan guna menjalankan bisnis, seperti halnya sewa gedung, alat transportasi dan lainnya yang mendukung operasional bisnis untuk mendapatkan keuntungan. Namun demikian, ada beberapa hal yang tidak boleh dilakukan mudharib. Ia tidak boleh melakukan withdraw (berhutang) atas aset mudharabah tanpa izin dari shahibul maal, karena hal itu akan menambah tanggungan shahibul maal. Jika shahibul maal membolehkan, maka penarikan itu menjadi hutang pribadi mudharib yang harus dibayar. Mudharib juga tidak boleh membeli aset dengan cara berhutang, walaupun mendapatkan izin dari shahibul maal. Jika mudharib tetap melakukannya, maka ia harus menanggung beban hutang itu. Namun, jika terdapat keuntungan akan menjadi milik penuh mudharib. Shahibul maal tidak berhak apa-pun, karena ia tidak ikut menanggung risiko. Mudharib tidak diperbolehkan menginvestasikan aset mudharabah kepada orang lain dengan akad mudharabah, melakukan akad syirkah, dicampur dengan harta pribadi atau harta orang lain, kecuali mendapatkan kebebasan penuh dari shahibul maal. Dengan adanya transaksi ini, maka akan terdapat hak orang lain atas aset shahibul maal, sehingga tidak diperbolehkan kecuali mendapatkan kesepakatan dari shahibul maal. (Zuhaili, 1989, IV, hal. 855-858).
2.6. Hak Mudharib
Mudharib
memiliki beberapa hak dalam akad mudharabah, yakni nafkah (living cost, biaya
hidup) dan keuntungan yang disepakati dalam akad.Ulama berbeda pendapat tentang
hak mudharib atas aset mudharabah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik
ketika di rumah atau dalam perjalanan.
·
Menurut Imam Syafii,
mudharib tidak berhak mendapatkan nafkah atas kebutuhan pribadinya dari aset
mudharabah, baik di rumah atau dalam perjalanan. Karena, mudharib kelak akan
mendapatkan bagian keuntungan, dan ia tidak berhak mendapatkan manfaat lain
dari akad mudharabah. Nafkah ini bisa jadi sama nominalnya dengan bagian
keuntungan, dan mudharib akan mendapatkan lebih. Jika nafkah ini disyaratkan
dalam kontrak, maka akad mudharabah fasid hukumnya.
·
Menurut Abu Hanifah dan
Imam Malik, mudharib hanya berhak mendapatkan nafkah dari aset mudharabah
ketika ia melakukan perjalanan, baik biaya transportasi, makan ataupun pakaian.
Madzhab Hanabalah memberikan keleluasaan, mudharib berhak mendapatkan nafkah
pribadi, baik di rumah atau dalam perjalanan, dan boleh menjadikan syarat dalam
akad.
·
Menurut Hanafiyah, mudharib
berhak mendapatkan nafkah dari aset mudharabah untuk memenuhi kegiatan bisnis
yang meliputi; makan minum, lauk pauk, pakaian, gaji karyawan, sewa rumah,
listrik, telepon, transportasi, upah cuci pakaian, begitu juga dengan biaya
dokter. Semuanya ini diperlukan demi kelancaran bisnis yang dijalankan. Kadar
nafkah ini harus disesuaikan dengan yang berlaku di khalayak umum.
Biaya
yang dikeluarkan oleh mudharib (dalam menjalankan bisnis) akan dikurangkan dari
keuntungan, namun jika tidak ada keuntungan, akan dikurangkan dari aset
shahibul maal, dan dihitung sebagai kerugian. Jika mudharib melakukan
perjalanan bisnis dan menetap selama 15 hari, maka biaya perjalanan bisnis ini
diambil dari aset mudharabah. Ketika ia kembali, jika terdapat sisa biaya
perjalanan, harus dikembalikan dan dihitung kembali sebagai aset mudharabah.
Jika mudharib menggunakan biaya pribadi, maka akan menjadi hutang dan akan
dikurangkan dari aset mudharabah.
Selain
itu, mudharib juga berhak mendapatkan keuntungan, namun jika bisnis yang
dijalankan tidak mendapatkan keuntungan, mudharib tidak berhak mendapatkan
apa-pun. Keuntungan akan dibagikan, setelah mudharib menyerahkan aset yang
diserahkan shahibul maal (ra‟sul maal) secara utuh, jika masih terdapat
kelebihan sebagai keuntungan, akan dibagi sesuai kesepakatan.
Menurut
Hanafiyah, Malikiyah dan Syafiiyah, mudharib berhak mendapatkan bagian atas
hasil bisnis, tanpa harus dihitung dari keuntungan (revenue sharing). Akan
tetapi, mayoritas ulama sepakat, mudharib harus mengembalikan pokok harta
shahibul maal, dan ia tidak berhak mendapatkan bagian sebelumnya menyerahkan
modal shahibul maal. Jika masih terdapat keuntungan, akan dibagi sesuai dengan
kesepakatan (profit sharing). (Zuhaili, 1989, IV, hal. 864-868).
2.7. Hal yang membatalkan Akad Mudharabah
Hal-hal yang dapat membatalkan akad mudharabah yaitu :
a.
Salah satu dari yang
ber-akad meninggal dunia.
b.
Salah satu yang ber-akad
gila.
c.
Pemilik modal murtad
(keluar dari agama islam).
d.
Modal rusak ditangan
pengelola.
2.8.Konsep Mudharabah dalam konteks modern
a. Transasksi
Perbankan
Fungsi Bank secara
garis besar adalah sebagai lembaga intermediasi (intermediary institution) yang
mengerahkan dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana-dana tersebut
kepada masyarakat yang membutuhkannya dalam bentuk fasilitas pembiayaan.
Perbedaan pokoknya terletak dalam jenis keuntungan yang diambil bank dari
transaksi-transaksi yang dilakukannya. Bila bank konvensional mendasarkan
keuntungannya dari pengambilan bunga, maka Bank Syariah dari apa yang disebut
sebagai imbalan, baik berupa jasa (fee-base income) maupun mark-up atau profit
margin, serta bagi hasil (loss and profit sharing).
Konsep
teoritis mengenai Bank Islam muncul pertama kali pada tahun 1940-an, dengan
gagasan mengenai perbankan yang berdasarkan bagi hasil. Batasan pengertian prinsip
syariah sebagai aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara Bank dan pihak
lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan
lainnya yang dinyatakan sesuai dengan Syariah, antara lain, pembiayaan
berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip
penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh
keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa
murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan
atas barang yang disewa dari pihak Bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Namun
berkenaan dengan perkembangan dengan kemajuan dan mobilitas masyarakat,
akad-akad ini mengalami evolusi dan inovasi sesuai dengan kemajuan masyarakat.Seperti
kasus kartu kredit (bithaqah al I’timan) menggunakan akad ijarah, kafalah dan
qardl. Transaksi ini tidak hanya menggunakan satu akad tetapi dengan cara
menggabungkan berbagai akad dalam satu pelaksanaan transaksi. Sebab, para pihak
tidak dapat memanfaat transaksi itu jika tidak menggabungkan beberapa akad
(muta’adidah/multi akad).Ini menggunakan akad kafalah dan ijarah atau akad
al-qardh dan ijarah. Akad kafalah digunakan dalam hal ini di mana penerbit
kartu adalah penjamin (kafil) bagi pemegang kartu terhadap merchant atas semua
kewajiban bayar (dayn) yang timbul dari transaksi antara pemegang kartu dengan
merchant, dan/atau pencairan tunai dari selain bank atau Anjungan Tunai Mandiri
(ATM) bank penerbit kartu, sedangkan akad al-qardh digunakan pada saat
melakukan penarikan tunai dari bank atau ATM. Adapun fee yang dikenakan kepada
pemegang kartu kredit atas jasa sistem pembayaran dan layanan terhadap pemegang
kartu adalah menggunakan akad ijarah.
b. Transaksi Asuransi
Ada
berbagai cara bagaimana manusia menangani risiko terjadinya musibah.Cara
pertama adalah dengan menanggungnya sendiri (risk retention), yang kedua,
mengalihkan risiko ke pihak lain (risk transfer), dan yang ketiga, mengelolanya
bersama-sama (risk sharing). Cara yang ketiga inilah filosofi dan dasar dalam
asuransi syariah.Jadi, Risk sharing inilah sesungguhnya esensi asuransi dalam
Islam, di mana di dalamnya diterapkan prinsip-prinsip kerjasama, proteksi dan
saling bertanggungjawab (cooperation, protection, mutual responsibility).
Sedangkan
secara legalitas keislaman, sistem asuransi syariah baru diakui dan diadopsi
oleh ulama dunia pada tahun 1985.Pada tahun ini, Majma al-Fiqh al-Islami
mengadopsi dan mengesahkan takaful sebagai sistem asuransi yang sesuai dengan
syariah. Meskipun sebenarnya, ulama yang pertama membahas tentang asuransi
adalah Ibnu Abidin (1784–1836 M./1252 H.). Ibnu Abidin adalah seorang ulama
bermazhab Hanafi, yang mengawali untuk membahas asuransi dalam karyanya yang
popular, yaitu Hasyiyah Ibn Abidin, Bab Jihad, Fashl Isti’man Al-Kafir dan
kitab Raddu al Muhtar ’Ala al Dar al Mukhtar.
Sebenarnya
perbedaan utama antara asuransi syariah dan konvensional terletak pada tujuan
dan landasan operasional.Dari sisi tujuan, asuransi syariah bertujuan saling
menolong (ta’awuni) sedangkan dalam asuransi konvensional tujuannya penggantian
(tabaduli). Kepemilikan dana pada asuransi syari’ah merupakan hak peserta.
Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Pada asuransi
konvensional, dana yang terkumpul dari nasabah (premi) menjadi milik
perusahaan, sehingga perusahaan bebas menentukan alokasi investasinya.
Adapun
asuransi akad tijari adalah model mudharabah dan ta’awun. Secara teknisnya,
mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama
menyediakan 100 persen modal sedangkan pihak kedua menjadi pengelola. Di sini
terjadi pembagian untung rugi antara (shahib al-mal) dan pihak
pengelola/perusahaan asuransi (mudharib). Keuntungan usaha secara mudharabah
dibagikan menurut kesepakatan yang dicatat dalam kontrak, sedangkan apabila
terjadi kerugian, ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan
akibat kelalaian pengelola.
Dalam
model mudharabah, seluruh peserta bertanggung jawab terhadap musibah yang
dialami peserta lain termasuk untuk membayar beban-beban asuransi lain (biaya
reasuransi, medical expenses, legal fee, dan lainnya). Sedangkan pengelola
(operator) hanya bertanggung jawab terhadap semua pengeluaran yang terkait
dengan operasional dan hasil investasi sesuai dengan kapasitasnya dalam akad
mudharabah.
c. Transaksi Pasar Modal
Pasar
modal adalah tempat di mana modal diperdagangkan antara pihak yang memiliki
kelebihan modal (investor) dengan orang yang memerlukan modal (issuer) untuk
mengembangkan investasi.Pasar Modal Syariah sendiri mulai diresmikan pada 14
Maret 2003. Dalam kandungan isinya, pasar modal syariah sama dengan pasar modal
konvensional, namun ada beberapa peraturan-peraturan syariah yang harus
dipatuhi.
Pasar
modal merupakan tonggak penting dalam dunia ekonomi pada saat ini. Banyak
industri dan perusahaan yang menggunakan institusi ini sebagai media untuk
menyerap investasi dan media untuk memperkuat posisi keuangannya. Pasar modal
memiliki peran yang besar dalam sistem ekonomi sebuah negara karena pasar modal
menjalankan dua fungsi secara bersama, yaitu fungsi ekonomi dan fungsi
keuangan. Pasar modal dikatakan memiliki fungsi ekonomi karena pasarnya
menyediakan kemudahan yang mempertemukan dua kepentingan, yaitu pihak yang
memiliki kelebihan dana (investor) dan pihak yang memerlukan dana (issuer).
Pasar modal dikatakan memiliki fungsi keuangan, karena memberikan kemungkinan
dan kesempatan memperoleh upah (return) bagi pemilik dana sesuai dengan
karakteristik investasi yang dipilih.
Pelaksanaan
transaksi saham harus dilakukan menurut prinsip kehati-hatian serta tidak
melakukan spekulasi dan manipulasi yang di dalamnya mengandung unsur gharar,
riba dan maysir. Para ahli fiqih kontemporer bersepakat bahwa haram hukumnya
memperdagangkan saham di pasar modal dari perusahaan yang bergerak di bidang
usaha yang haram. Misalnya, perusahaan yang bergerak di bidang produksi minuman
keras, babi dan apa saja yang berkaitan dengan babi, jasa keuangan konvensional
seperti bank dan asuransi, industri hiburan yang haram, seperti kasino,
perjudian, pelacuran, media porno, dan sebagainya. Dalil yang mengharamkan
jual-beli saham perusahaan seperti ini adalah semua dalil yang mengharamkan
segala aktivitas tersebut.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Kerjasama
baik dalam Mudharabah adalah sesuatu yang sangat dianjurkan dalam Islam agar
kita dapat saling membantu dalam menanggung resiko usaha tentu yang sesuai
dengan syariah. Mudharabah yang termasuk salah satu jenis Kerjasama, yang saat
ini memiliki banyak kendala dalam perkembangannya sehingga shahibul mal/bank
enggan memakai skema kontrak ini. Nilai-nilai yang terkandung dalam Islam dapat
menjadi satu keunggulan preferensi individu muslim.
3.2. Saran
Potensi masalah yang timbul dalam pelaksanaan mudharabah
agar dapat mengatasi kelemahannya dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu :
1. Peningkatan kualitas preferensi Mudharib dalam
menerima amanah dan shahibul mal.
2. Peningkatan kualitas transparansi dalam kontrak
seperti penyusunan kontrak yang lebih terperinci.
3. Penerapan standar akuntansi yang memadai.
DAFTAR PUSTAKA
Syafi’I Antonio,Muhammad.2002.Bank Syariah dari teori
kepraktek. Jakarta: Gema Insani.
Suhendi,
Hendi. 2005. Fiqh Muamalah. Jakarta: Raja Grafindo.
A.Mas’adi,
Ghufron. 2002. Fiqh Muamalah. Semarang: IAIN Walisongo.
Syafe’I,Rachmat.2001.Fiqh
Muamalah.Bandung: Pustaka Setia.
Bagus sekali menambah wawasan
BalasHapusterima kasih ;)
Hapus