makalah mudharabah

 MUDHARABAH
Sebagai Tugas Terstruktur Kelompok
dalam Mata Kuliah Fiqh Muamalat
 Diampu oleh: Dr. Sumar’in, SEI, MEI.
Program Studi Ekonomi Islam
Disusun oleh:
Kelompok 12
Nama Kelompok:
1.         Riza Anugrah                          ( B1061151020 )
2.         Sarah Putri Cahyani                ( B1061151022 )
3.         Muyesaro                                ( B1061151033 )        
4.         Syf. Mia Maulidya                  ( B1061151006 )





FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVESITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2016

KATA PENGANTAR


            Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang mana pada kesempatan ini masih diberikan-Nya kenikmatan sehat lahir dan batin sehingga pemakalah dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Mudharabah”.

            Sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada manusia pilihan, pembawa risalah islam yaitu Nabi Muhamad SAW. Beserta para keluarga, sahabat dan kita semua pengikutnya. Pemakalah sadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan,kekeliruan ataupun kesalahan. Maka dari itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan sebagai perbaikan makalah ini dimasa mendatang.

            Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, karena keterbatasan wawasan, serta pengetahuan. Oleh karena itu kritik dan saran dari berbagai pihak sangat kami harapkan demi kemajuan di masa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pemakalah khususnya, dan bagi pembaca umumnya.





Pontianak, 22 Mei 2016



                                                                                                Kelompok 12


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................      ii
DAFTAR ISI......................................................................................................     iii
BAB I: PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang .............................................................................................      1
1.2.Rumusan Masalah ........................................................................................      1
1.3.Tujuan Masalah ............................................................................................      2
BAB II: PEMBAHASAN
2.1. Definisi Mudharabah...................................................................................      3
2.2. Landasan Syariah ........................................................................................      5
2.3. Rukun dan Macam ......................................................................................      5
2.4. Syarat dan Hukum ......................................................................................      7
2.5. Batasan Kewenangan ..................................................................................      7
2.6. Hak Mudharib .............................................................................................      8
2.7. Hal yang membatalkan Akad Mudharabah ................................................    10
2.8. Konsep Mudharabah dalam konteks modern..............................................    11
BAB III: PENUTUP
3.1. Kesimpulan .................................................................................................    16
3.2. Saran ...........................................................................................................    16
DAFTAR PUSTKA ..........................................................................................     iv

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Islam sangat menganjurkan pemeluknya untuk berusaha, termasuk melakukan kegiatan-kegiatan bisnis.Dalam kegiatan bisnis, seseorang dapat merencanakan suatu dengan sebaik-baiknya agar dapat menghasilkan sesuatu yang diharapkan, namun tidak ada seorangpun yang dapat memastikan hasilnya seratus persen.Suatu usaha, walaupun direncanakan dengan sebaik-baiknya, namun tetap mempunyai resiko untuk gagal.Faktor ketidakpastian adalah faktor yang given, sudah menjadi sunnatullah.
       Konsep Bagi hasil, dalam menghadapi ketidakpastian merupakan salah satu prinsip yang sangat mendasar dari ekonomi Islam, yang dianggap dapat mendukung aspek keadilan.Keadilan merupakan aspek mendasar dalam perekonomian Islam (Antonio, 2001).Penetapan suatu hasil usaha didepan dalam suatu kegiatan usaha dianggap sebagai sesuatu hal yang dapat memberatkan salah satu pihak yang berusaha, sehingga melanggar aspek keadilan.
       Bahwa kegiatan-kegiatan investasi bank Islam oleh para teoritisi Perbanklan Islam membayangkan mesti di dasarkan pada dua konsep hukum : Mudharabah dan Musyarakah, atau yang dikenal dengan istilah Profit and Loss Sharing (PLS). Apakah konsep teoritisi yang ditawarkan dengan sistem Mudharabah dan Musyarakah dalam literatur fiqih dapat diaplikasikan secara murni dalam tingkat realitas?. Makalah ini hendak mencermati bagaimana konsep Mudharabah itu dikembangkan dalam fiqih dan dapat digunakan dalam Perbankan Islam.

1.2.Rumusan Masalah
a.       Apa itu mudharabah?
b.      Apa landasan syariah mudharabah?
c.       Bagaimana rukun dan macam mudharabah?
d.      Bagaimana syarat dan hukum mudharabah?

e.       Bagaimana batasan kewenangannya ?
f.       Apa saja hak seorang mudharib ?
g.      Apa saja yang dapat membatalkan akad mudharabah?
h.      Bagaimana konsep mudharabah dalam konteks modern ?

1.3.Tujuan Masalah
a.       Dapat mengetahui definisi dari mudharabah.
b.      Dapat memgetahui landasan syariah-nya.
c.       Dapat mengetahui rukun-rukun dan macam-macam-nya.
d.      Dapat mengetahui batasan kewenangan-nya.
e.       Dapat mengetahui hak seorang mudharib.
f.       Dapat mengetahui apa saja yang dapat membatalkan akad mudharabah.
g.      Dapat mengetahui konsep-nya dalam konteks modern.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi Mudharabah
a. Pengertian Mudharabah
            Kata Mudharabah secara etimologi berasal dari kata dharb. Dalam bahasa Arab, kata ini termasuk diantara kata yang mempunyai banyak arti.Diantaranya memukul, berdetak, mengalir, berenang, bergabung, menghindar berubah, mencampur, berjalan, dan lain sebagainya.Perubahan makna tersebut bergantung pada kata yang mengikutinya dan konteks yang membentuknya.
            Menurut terminologis, mudharabah diungkap secara bermacam-macam oleh para ulama madzhab. Diantaranya menurut madzhab Hanafi, “suatu perjanjian untuk berkongsi didalam keuntungan dengan modal dari salah satu pihak dan kerja (usaha) dari pihak lain.” sedangkan madzhab Maliki menamainya sebagai penyerahan uang dimuka oleh pemilik modal dalam jumlah uang yang ditentukan kepada seorang yang akan menjalankan usaha dengan uang itu dengan imbalan sebagian dari keuntungannya.
            Ulama Hijaz menamakan mudharabah, qiradh. Menurut Jumhur, mudharabah adalah bagian dari musyarakah. Dalam merumuskan pengertian mudharabah, Wahbah Az-Zuhaily mengemukakan:Pemilik modal menyerahkan hartanya kepada pengusaha untuk diperdagangkan dengan pembagian keuntungan yang disepakati dengan ketentuan bahwa kerugian ditanggung oleh pemilik modal, sedangkan pengusaha tidak dibebani kerugian sedikitpun, kecuali kerugian berupa tenaga dan kesungguhannya.
            Menurut Latifa M.Algaoud dan Mervyn K.Lewis, mudharabah dapat didefinisikan sebagai sebuah perjanjian di antara paling sedikit dua pihak, dimana satu pihak, pemilik modal (shahib al-mal atau rabb al-mal), mempercayakan sejumlah dana kepada pihak lain, pengusaha (mudharib), untuk menjalankan suatu aktivitas atau usaha. Menurut Afzalur Rahman sebagaimana dikutip oleh Gemala Dewi dkk., syirkah mudharabah atau qiradh, yaitu berupa kemitraan terbatas adalah perseroan antara tenaga dan harta, seseorang (pihak pertama/supplier/ pemilik modal/mudharib) memberikan hartanya kepada pihak lain (pihak kedua/pemakai/pengelola/dharib) yang digunakan untuk bisnis, dengan ketentuan bahwa keuntungan (laba) yang diperoleh akan dibagi oleh masing-masing pihak sesuai dengan kesepakatan. Bila terjadi kerugian, maka ketentuannya berdasarkan syara‟ bahwa kerugian dalam mudharabah dibebankan kepada harta, tidak dibebankan sedikitpun kepada pengelola, yang bekerja.
            Al Qur’an membolehkan Mudharabah ini dengan mengambil dasar QS. Al Muzammil ayat 20 : “ …..dan orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT “.Dalam ayat tersebut terdapat kata yadribun yang asal katanya sama dengan mudharabah, yakni dharaba yang berarti mencari pekerjaan atau menjalankan usaha.
            Secara umum, mudharabah dibagi menjadi dua yaitu mudharabah mutlaqah (Unrestricted Investment Account) dan mudharabah muqoyyadhah (Restricted Investment Account).
a. Mudharabah Mutlaqah (bebas)
Mudharabah Mutlaqah atau disebut dengan (Unrestricted Investment Account) adalah akad kerja antara dua orang atau lebih, atau antara shahibul maal selaku investor dengan mudharib selaku pengusaha yang berlaku secara luas. Atau dengan kata lain pengelola (mudharib) mendapatkan hak keleluasaan (disrectionary right) dalam pengelolaan dana, jenis usaha, daerah bisnis, waktu usaha, maupun yang lain.
b. Mudharabah Muqoyyadah (terikat)
Disebut juga dengan istilah (Restricted Investment Account) yaitu kerjasama dua orang atau lebih atau antara shahibul maal selaku investor dengan pengusaha atau mudharib, investor memberikan batasan tertentu baik dalam hal jenis usaha yang akan dibiayai, jenis instrumen, resiko, maupun pembatasan lain yang serupa.

2.2. Landasan Syariah Mudharabah
a. Mudharabah
Secara Umum, landasan dasar syariah Al-Mudharabah lebih mencerminkan anjuran untuk melaksanakan usaha. Hal ini tampak dalam ayat-ayat dan hadist berikut ini :
1.      Al-Qur’an
“dan dari orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT” (QS. Al-Muzzammil: 20), yang menjadi wajhud-dilalah (وجهالدلاله) atau argument dari ayat diatas adalah yang berarti melakukan suatu perjalanan usaha. “apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu dimuka bumi dan carilah karunia Allah SWT” (QS. Al-Jumu’ah: 10).
2.      Al-Hadist
“Dari Shalih bin Suhaib RA bahwa Rasulullah Bersabda: tiga hal yang didalamnya terdapat kebaikan: jual-beli secara tangguh, Muqoradhah (Mudaharabah), dan mencampur gandum dengan gandum untuk keperluan rumah bukan untuk dijual”
3.      Ijma’
Imam Zailai[1] telah menyatakan bahwa para sahabat telah berkonsensus terhadap legitimasi pengolahan harta yatim secara mudharabah. Kesepakatan para sahabat ini sejalan dengan spirit hadist yang dikutip Abu Ubaid[2]
2.3. Rukun dan Macam Mudharabah
a. Mudharabah
rukun-rukun mudharabah terdiri dari :
a. pihak yang berakad (subjek perjanjian)
·         pemilik modal – biasanya bank yang akan bertindak selaku “Shahibul Maal”.
·         pengelola dana – pengusaha yang disebut sebagai “Mudharib”
b. objek yang diakadkan (objek perjanjian)
·         besarnya modal yang ditanamkan atau diserahkan oleh bank kepada pegusaha untuk dikembangkan (dikelola).
·         jenis pekerjaan yang akan dilakulakan oleh pengusaha dengan uang tersebut.
·         besarnya pembagian keuntungan (nisbah) antara bank dan pengusaha.
c. akad (Shigat)
            selanjutnya dengan demikian Prinsip mudharabah adalah prinsip kerja sama bagi hasil (profit loss and sharing) yaitu akad/perjanjian kerja sama antara bank syariah sebagai penyedia dana (shahib al-mal) dan nasabah sebagai pelaku kegiatan/ proyek(mudharib). Keuntungan usaha dibagi kepada semua pihak sesuai dengan proporsi (Nisbah).
            Maka dengan demikian bisa diartikan, keuntungan usaha yang didapat dari akad mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak dalam bentuk nisbah (presentase), jika usaha yang dijalankan mengalami kerugian, maka kerugian itu ditanggung oleh Shahibul al-Maal sepanjang kerugian itu akibat kelalaian Shibul Al-Maal, tapi jika kerugian itu diakibatkan kelalaian mudharib maka mudhariblah yang menanggung atas kerugian tersebut.
Ketentuan mudharabah :
1. modal ditangan pengusaha bersifat amanah, seperti wakil dalam jual beli.
2. pengusaha berhak atas keuntungan sesuai kesepakatan.
3. komponen biaya disepakati sejak awal akad.
4. pemilik modal (shahibul al-Maal) berhak atas keuntungan dan menanggung risiko.
Macam-macam mudharabah ini ada dua jenis yakni:
a. Mudharabah Mutlaqah (bebas)
Mudharabah Mutlaqah atau disebut dengan (Unrestricted Investment Account) adalah akad kerja antara dua orang atau lebih, atau antara shahibul maal selaku investor dengan mudharib selaku pengusaha yang berlaku secara luas. Atau dengan kata lain pengelola (mudharib) mendapatkan hak keleluasaan (disrectionary right) dalam pengelolaan dana, jenis usaha, daerah bisnis, waktu usaha, maupun yang lain.
b.Mudharabah Muqoyyadah (terikat)
Disebut juga dengan istilah (Restricted Investment Account) yaitu kerjasama dua orang atau lebih atau antara shahibul maal selaku investor dengan pengusaha atau mudharib, investor memberikan batasan tertentu baik dalam hal jenis usaha yang akan dibiayai, jenis instrumen, resiko, maupun pembatasan lain yang serupa.
2.4. Syarat dan Hukum Mudharabah
a. Syarat Akad Mudharabah
            1. Pemodal dan Pengelola
                pemodal dan pengelola harus mampu melakukan transaksi dan sah                          secara hukum keduanya harus mampu bertindak sebagai kafil dan wakil        dari masing- masing pihak.
            2. Akad
                  akad maksudnya adalah kontrak yang berlangsung, akad (kontrak)                          dianggap tidak sah jika salah satu pihak menolak syarat-syarat yang di                           ajukan dalam penawaran. atau salah satu pihak meninggalkan tempat                           berlangsungnya negoisasi kontrak tersebut sebelum kesepakatan                       disempurnakan.
2.5. Batasan Kewenangan Mudharabah
Jika akad mudharabah berupa mudharabah muthlaqah, maka mudharib memiliki kewenangan penuh untuk menjalankan bisnis apa saja, dimana, kapan, dan dengan siapa saja. Karena maksud dari mudharabah adalah mendapatkan keuntungan, dan tidak akan didapatkan tanpa dengan melakukan transaksi bisnis. 
Mudharib diperbolehkan menitipkan aset mudharabah kepada pihak lain (bank, misalnya), karena hal ini merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari. Ia juga memiliki hak untuk merekrut karyawan guna menjalankan bisnis, seperti halnya sewa gedung, alat transportasi dan lainnya yang mendukung operasional bisnis untuk mendapatkan keuntungan. Namun demikian, ada beberapa hal yang tidak boleh dilakukan mudharib. Ia tidak boleh melakukan withdraw (berhutang) atas aset mudharabah tanpa izin dari shahibul maal, karena hal itu akan menambah tanggungan shahibul maal. Jika shahibul maal membolehkan, maka penarikan itu menjadi hutang pribadi mudharib yang harus dibayar. Mudharib juga tidak boleh membeli aset dengan cara berhutang, walaupun mendapatkan izin dari shahibul maal. Jika mudharib tetap melakukannya, maka ia harus menanggung beban hutang itu. Namun, jika terdapat keuntungan akan menjadi milik penuh mudharib. Shahibul maal tidak berhak apa-pun, karena ia tidak ikut menanggung risiko. Mudharib tidak diperbolehkan menginvestasikan aset mudharabah kepada orang lain dengan akad mudharabah, melakukan akad syirkah, dicampur dengan harta pribadi atau harta orang lain, kecuali mendapatkan kebebasan penuh dari shahibul maal. Dengan adanya transaksi ini, maka akan terdapat hak orang lain atas aset shahibul maal, sehingga tidak diperbolehkan kecuali mendapatkan kesepakatan dari shahibul maal. (Zuhaili, 1989, IV, hal. 855-858).
2.6. Hak Mudharib
            Mudharib memiliki beberapa hak dalam akad mudharabah, yakni nafkah (living cost, biaya hidup) dan keuntungan yang disepakati dalam akad.Ulama berbeda pendapat tentang hak mudharib atas aset mudharabah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik ketika di rumah atau dalam perjalanan.
·         Menurut Imam Syafii, mudharib tidak berhak mendapatkan nafkah atas kebutuhan pribadinya dari aset mudharabah, baik di rumah atau dalam perjalanan. Karena, mudharib kelak akan mendapatkan bagian keuntungan, dan ia tidak berhak mendapatkan manfaat lain dari akad mudharabah. Nafkah ini bisa jadi sama nominalnya dengan bagian keuntungan, dan mudharib akan mendapatkan lebih. Jika nafkah ini disyaratkan dalam kontrak, maka akad mudharabah fasid hukumnya.
·         Menurut Abu Hanifah dan Imam Malik, mudharib hanya berhak mendapatkan nafkah dari aset mudharabah ketika ia melakukan perjalanan, baik biaya transportasi, makan ataupun pakaian. Madzhab Hanabalah memberikan keleluasaan, mudharib berhak mendapatkan nafkah pribadi, baik di rumah atau dalam perjalanan, dan boleh menjadikan syarat dalam akad.
·         Menurut Hanafiyah, mudharib berhak mendapatkan nafkah dari aset mudharabah untuk memenuhi kegiatan bisnis yang meliputi; makan minum, lauk pauk, pakaian, gaji karyawan, sewa rumah, listrik, telepon, transportasi, upah cuci pakaian, begitu juga dengan biaya dokter. Semuanya ini diperlukan demi kelancaran bisnis yang dijalankan. Kadar nafkah ini harus disesuaikan dengan yang berlaku di khalayak umum.
            Biaya yang dikeluarkan oleh mudharib (dalam menjalankan bisnis) akan dikurangkan dari keuntungan, namun jika tidak ada keuntungan, akan dikurangkan dari aset shahibul maal, dan dihitung sebagai kerugian. Jika mudharib melakukan perjalanan bisnis dan menetap selama 15 hari, maka biaya perjalanan bisnis ini diambil dari aset mudharabah. Ketika ia kembali, jika terdapat sisa biaya perjalanan, harus dikembalikan dan dihitung kembali sebagai aset mudharabah. Jika mudharib menggunakan biaya pribadi, maka akan menjadi hutang dan akan dikurangkan dari aset mudharabah.
            Selain itu, mudharib juga berhak mendapatkan keuntungan, namun jika bisnis yang dijalankan tidak mendapatkan keuntungan, mudharib tidak berhak mendapatkan apa-pun. Keuntungan akan dibagikan, setelah mudharib menyerahkan aset yang diserahkan shahibul maal (ra‟sul maal) secara utuh, jika masih terdapat kelebihan sebagai keuntungan, akan dibagi sesuai kesepakatan.
            Menurut Hanafiyah, Malikiyah dan Syafiiyah, mudharib berhak mendapatkan bagian atas hasil bisnis, tanpa harus dihitung dari keuntungan (revenue sharing). Akan tetapi, mayoritas ulama sepakat, mudharib harus mengembalikan pokok harta shahibul maal, dan ia tidak berhak mendapatkan bagian sebelumnya menyerahkan modal shahibul maal. Jika masih terdapat keuntungan, akan dibagi sesuai dengan kesepakatan (profit sharing). (Zuhaili, 1989, IV, hal. 864-868).
2.7. Hal yang membatalkan Akad Mudharabah
Hal-hal yang dapat membatalkan akad mudharabah yaitu :
a.       Salah satu dari yang ber-akad meninggal dunia.
b.      Salah satu yang ber-akad gila.
c.       Pemilik modal murtad (keluar dari agama islam).
d.      Modal rusak ditangan pengelola.
2.8.Konsep Mudharabah dalam konteks modern
a. Transasksi Perbankan
             Fungsi Bank secara garis besar adalah sebagai lembaga intermediasi (intermediary institution) yang mengerahkan dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya dalam bentuk fasilitas pembiayaan. Perbedaan pokoknya terletak dalam jenis keuntungan yang diambil bank dari transaksi-transaksi yang dilakukannya. Bila bank konvensional mendasarkan keuntungannya dari pengambilan bunga, maka Bank Syariah dari apa yang disebut sebagai imbalan, baik berupa jasa (fee-base income) maupun mark-up atau profit margin, serta bagi hasil (loss and profit sharing).
            Konsep teoritis mengenai Bank Islam muncul pertama kali pada tahun 1940-an, dengan gagasan mengenai perbankan yang berdasarkan bagi hasil. Batasan pengertian prinsip syariah sebagai aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara Bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan Syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak Bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
            Namun berkenaan dengan perkembangan dengan kemajuan dan mobilitas masyarakat, akad-akad ini mengalami evolusi dan inovasi sesuai dengan kemajuan masyarakat.Seperti kasus kartu kredit (bithaqah al I’timan) menggunakan akad ijarah, kafalah dan qardl. Transaksi ini tidak hanya menggunakan satu akad tetapi dengan cara menggabungkan berbagai akad dalam satu pelaksanaan transaksi. Sebab, para pihak tidak dapat memanfaat transaksi itu jika tidak menggabungkan beberapa akad (muta’adidah/multi akad).Ini menggunakan akad kafalah dan ijarah atau akad al-qardh dan ijarah. Akad kafalah digunakan dalam hal ini di mana penerbit kartu adalah penjamin (kafil) bagi pemegang kartu terhadap merchant atas semua kewajiban bayar (dayn) yang timbul dari transaksi antara pemegang kartu dengan merchant, dan/atau pencairan tunai dari selain bank atau Anjungan Tunai Mandiri (ATM) bank penerbit kartu, sedangkan akad al-qardh digunakan pada saat melakukan penarikan tunai dari bank atau ATM. Adapun fee yang dikenakan kepada pemegang kartu kredit atas jasa sistem pembayaran dan layanan terhadap pemegang kartu adalah menggunakan akad ijarah.
b. Transaksi Asuransi
            Ada berbagai cara bagaimana manusia menangani risiko terjadinya musibah.Cara pertama adalah dengan menanggungnya sendiri (risk retention), yang kedua, mengalihkan risiko ke pihak lain (risk transfer), dan yang ketiga, mengelolanya bersama-sama (risk sharing). Cara yang ketiga inilah filosofi dan dasar dalam asuransi syariah.Jadi, Risk sharing inilah sesungguhnya esensi asuransi dalam Islam, di mana di dalamnya diterapkan prinsip-prinsip kerjasama, proteksi dan saling bertanggungjawab (cooperation, protection, mutual responsibility).
            Sedangkan secara legalitas keislaman, sistem asuransi syariah baru diakui dan diadopsi oleh ulama dunia pada tahun 1985.Pada tahun ini, Majma al-Fiqh al-Islami mengadopsi dan mengesahkan takaful sebagai sistem asuransi yang sesuai dengan syariah. Meskipun sebenarnya, ulama yang pertama membahas tentang asuransi adalah Ibnu Abidin (1784–1836 M./1252 H.). Ibnu Abidin adalah seorang ulama bermazhab Hanafi, yang mengawali untuk membahas asuransi dalam karyanya yang popular, yaitu Hasyiyah Ibn Abidin, Bab Jihad, Fashl Isti’man Al-Kafir dan kitab Raddu al Muhtar ’Ala al Dar al Mukhtar.
            Sebenarnya perbedaan utama antara asuransi syariah dan konvensional terletak pada tujuan dan landasan operasional.Dari sisi tujuan, asuransi syariah bertujuan saling menolong (ta’awuni) sedangkan dalam asuransi konvensional tujuannya penggantian (tabaduli). Kepemilikan dana pada asuransi syari’ah merupakan hak peserta. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Pada asuransi konvensional, dana yang terkumpul dari nasabah (premi) menjadi milik perusahaan, sehingga perusahaan bebas menentukan alokasi investasinya.
            Adapun asuransi akad tijari adalah model mudharabah dan ta’awun. Secara teknisnya, mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama menyediakan 100 persen modal sedangkan pihak kedua menjadi pengelola. Di sini terjadi pembagian untung rugi antara (shahib al-mal) dan pihak pengelola/perusahaan asuransi (mudharib). Keuntungan usaha secara mudharabah dibagikan menurut kesepakatan yang dicatat dalam kontrak, sedangkan apabila terjadi kerugian, ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian pengelola.
            Dalam model mudharabah, seluruh peserta bertanggung jawab terhadap musibah yang dialami peserta lain termasuk untuk membayar beban-beban asuransi lain (biaya reasuransi, medical expenses, legal fee, dan lainnya). Sedangkan pengelola (operator) hanya bertanggung jawab terhadap semua pengeluaran yang terkait dengan operasional dan hasil investasi sesuai dengan kapasitasnya dalam akad mudharabah.
c. Transaksi Pasar Modal
            Pasar modal adalah tempat di mana modal diperdagangkan antara pihak yang memiliki kelebihan modal (investor) dengan orang yang memerlukan modal (issuer) untuk mengembangkan investasi.Pasar Modal Syariah sendiri mulai diresmikan pada 14 Maret 2003. Dalam kandungan isinya, pasar modal syariah sama dengan pasar modal konvensional, namun ada beberapa peraturan-peraturan syariah yang harus dipatuhi.
            Pasar modal merupakan tonggak penting dalam dunia ekonomi pada saat ini. Banyak industri dan perusahaan yang menggunakan institusi ini sebagai media untuk menyerap investasi dan media untuk memperkuat posisi keuangannya. Pasar modal memiliki peran yang besar dalam sistem ekonomi sebuah negara karena pasar modal menjalankan dua fungsi secara bersama, yaitu fungsi ekonomi dan fungsi keuangan. Pasar modal dikatakan memiliki fungsi ekonomi karena pasarnya menyediakan kemudahan yang mempertemukan dua kepentingan, yaitu pihak yang memiliki kelebihan dana (investor) dan pihak yang memerlukan dana (issuer). Pasar modal dikatakan memiliki fungsi keuangan, karena memberikan kemungkinan dan kesempatan memperoleh upah (return) bagi pemilik dana sesuai dengan karakteristik investasi yang dipilih.
            Pelaksanaan transaksi saham harus dilakukan menurut prinsip kehati-hatian serta tidak melakukan spekulasi dan manipulasi yang di dalamnya mengandung unsur gharar, riba dan maysir. Para ahli fiqih kontemporer bersepakat bahwa haram hukumnya memperdagangkan saham di pasar modal dari perusahaan yang bergerak di bidang usaha yang haram. Misalnya, perusahaan yang bergerak di bidang produksi minuman keras, babi dan apa saja yang berkaitan dengan babi, jasa keuangan konvensional seperti bank dan asuransi, industri hiburan yang haram, seperti kasino, perjudian, pelacuran, media porno, dan sebagainya. Dalil yang mengharamkan jual-beli saham perusahaan seperti ini adalah semua dalil yang mengharamkan segala aktivitas tersebut.

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
            Kerjasama baik dalam Mudharabah adalah sesuatu yang sangat dianjurkan dalam Islam agar kita dapat saling membantu dalam menanggung resiko usaha tentu yang sesuai dengan syariah. Mudharabah yang termasuk salah satu jenis Kerjasama, yang saat ini memiliki banyak kendala dalam perkembangannya sehingga shahibul mal/bank enggan memakai skema kontrak ini. Nilai-nilai yang terkandung dalam Islam dapat menjadi satu keunggulan preferensi individu muslim.

3.2. Saran
Potensi masalah yang timbul dalam pelaksanaan mudharabah agar dapat mengatasi kelemahannya dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu :
1. Peningkatan kualitas preferensi Mudharib dalam menerima amanah dan shahibul mal.
2. Peningkatan kualitas transparansi dalam kontrak seperti penyusunan kontrak yang lebih terperinci.
3. Penerapan standar akuntansi yang memadai.

DAFTAR PUSTAKA
Syafi’I Antonio,Muhammad.2002.Bank Syariah dari teori kepraktek. Jakarta: Gema Insani.
Suhendi, Hendi. 2005. Fiqh Muamalah. Jakarta: Raja Grafindo.
A.Mas’adi, Ghufron. 2002. Fiqh Muamalah. Semarang: IAIN Walisongo.
Syafe’I,Rachmat.2001.Fiqh Muamalah.Bandung: Pustaka Setia.


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peranan Dan Fungsi Pemerintah Dalam Perekonomian & Ruang Lingkup Intervensi Pemerintah

KONSUMSI

makalah saham syariah